"Saya Harus Hati-hati"
   
   
   
   Sebagian orang mungkin mengira bahwa kedekatan KH Kosim Nurseha dengan
   keluarga Presiden Soeharto menjadikan bapak empat anak ini
   berpenampilan wah: rumahnya yang mewah dengan pagar tinggi plus
   penjagaaan ketat, di dalamnya sejumlah pembantu yang sibuk
   melayaninya, dan selalu naik kendaran mewah. Ceramahnya hanya pada
   kalangan gedongan dan para petinggi negara dengan 'tarif' yang tinggi.
   Sementara untuk bertemu dengannya harus melalui prosedur yang ketat.
   
   Namun kesan itu hilang ketika Sahid mengunjungi kediaman kiai asal
   Tegal yang terletak diperkampungan di kawasan Cibubur Jakarta Selatan
   itu. Rumah itu sederhana, dengan pagar teralis yang catnya sudah mulai
   mengelupas karena terpanggang panasnya sinar matahari. Sementara
   bagian dalam terlihat langit-langit mulai rusak dan sebagian
   dindingnya retak karena tua.
   
   Bagian ruang tamunya nyaris tanpa hiasan kecuali beberapa buku,
   kaligrafi dari kuningan, beberapa cindera mata dari majlis taklim dan
   foto Kosim bersalaman dengan Pak Harto. Untuk mencapai rumah itu harus
   melewati jalan sempit yang hanya bisa dilalui kendaraan dengan satu
   arah. "Bapak senang tinggal di sini karena ini hasil keringatnya
   sendiri," kata Drs M. Mudhofar Hasan, salah satu sekretaris
   pribadinya. Rumah dinas yang ada di kompleks Angkatan Darat Cijantung
   tidak ditempatinya.
   
   Ditemui di rumahnya pada Sabtu pagi pertengahan bulan ini, Kosim
   menyambut Sahid dengan mengenakan sarung. Sementara dua tamu yang lain
   lebih dulu datang menjemputnya untuk acara ceramah nikah di rumah
   Sekwilda Bekasi. "Kalau di rumah memang biasanya begini, gaya santri,"
   katanya menyambut.
   
   Kepada kedua tamunya Kosim berpesan, dirinya sangat tidak suka kalau
   ada orang yang meminta ceramah lantas menitipkan uang muka, porsekot,
   down payment, uang jasa baik atau apapun namanya. Soal bisa atau
   tidak, tidak tergantung pada siapa yang mengundangnya. "Di gang sempit
   sekalipun akan saya datangi, kalau ada waktu," ujarnya.
   
   Kosim sering diundang pengajian ke sejumlah kampung terpencil Jakarta,
   dijemput dengan kendaraan yang sederhana, tanpa AC. Bagi orang
   berpostur subur seperti Kosim, hal itu tentu agak mengganggu, karena
   akan menggerahkan. Meski sebuah Baby Benz nongkrong di garasinya, ia
   sering memilih pergi bersama para penjemputnya. "Saya merasa bahagia
   karena mereka melakukannya dengan ikhlas tanpa pamrih," katanya lebih
   lanjut.
   
   Kosim Nurseha yang lahir 12 Juli 1936 selama ini memang dikenal
   sebagai salah satu pembimbing ruhani keluarga Pak Harto. Perannya
   dalam mengantarkan keluarga Presiden semakin dekat dengan Islam telah
   diketahui banyak orang. Misalnya bersama KH. Mashuri Syahid, dialah
   yang membuatkan tuntunan praktis pemahaman dan pengamalan ajaran
   Islam, baik dalam bidang aqidah, syariah maupun akhlak.
   
   Perkenalan dengan keluarga Cendana bermula dari sebuah ceramahnya di
   TMII (Taman Mini Indonesia Indah) di tahun 1980-an. Materi ceramahnya
   tentang silarraturahim ternyata sangat menyentuh Ibu Tien Soeharto
   waktu itu, bahkan beliaunya sempat terkagum-kagum dengan humor yang
   dilontarkan Kosim. Ketika Kosim mengakhiri ceramahnya, buru- buru
   ajudan Presiden lari ke podium menyampaikan keinginan Ibu Tien agar
   Kosim ceramah lagi. "Baru pertama kali saya diminta nambah ceramah,"
   ceritanya mengenang. Sejak itu Kosim yang sudah bertugas di Disbintal
   AD akrab dengan keluarga Pak Harto. Apalagi dengan pengajian yang
   diadakan keluarga Presiden dua kali sebulan.
   
   Pesan ceramahnya mudah ditangkap masyarakat, bahkan diselingi dengan
   humor segar, tapi jauh dari pesan porno, dan tidak berkurang bobot
   keilmiahannya. Menurutnya, itu karena bahasa yang digunakan adalah
   bahasa kopral. "Kalau bahasa kopral, jendralnya pasti ngerti. Tapi
   kalau pakai bahasa jenderal kopralnya bisa nggak paham," katanya
   setengah bercanda.
   
   Sejak masih mudanya putera dari keluarga Mohammad Nurseha ini dikenal
   sebagai mubaligh yang sangat piawai. Keterampilanya berceramah
   didapatkan sejak mengaji di surau. Setelah pelajaran mengaji biasanya
   diadakan latihan pidato di antara sesama santri di bawah bimbingan
   sang ustadz. "Saya mendapatkan pelajaran asal mau nyapu surau,"
   katanya.
   
   Ketika aktif di Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Pemuda Muhammadiyah
   tahun 1950-an Kosim sering menghimpun warga untuk pengajian. Tujuanya
   untuk melawan PKI. Itu dilaksanakan tidak kurang dari tujuh tahun
   lamanya, dari kota sampai ke pelosok. Untuk itu Kosim harus menumpang
   truk karena tidak ada biaya. Hasilnya luar biasa, "Sampai-sampai
   mereka yang punya anakpun masuk menjadi PII, padahal PII kan
   organisasi pelajar. Nggak apa-apa, asal tidak anggota PKI," tuturnya
   sambil tertawa.
   
   Cara itu membuat nama Kosim Nurseha semakin terkenal di berbagai
   kelompok pengajian. Ia juga mengajarkan bela diri. Kegiatan ini
   semakin mendapat sambutan masyarakat di Ambarawa. Namun kebencian dari
   orang-orang PKI semakin menggila. Sampai suatu ketika orang-orang PKI
   tidak sabar, mereka mendatangi penginapan Kosim untuk membunuhnya.
   "Meski saya pintar bela diri, saya akan mati malam itu. Jadi umur saya
   sekarang ini cuma sambungan," katanya dengan keharuan.
   
   Selain dikenal sebagai mubaligh Kosim juga dikenal sebagai
   olahragawan. Olahraga favoritnya bela diri dan renang. Hoby olahraga
   inilah yang nantinya mengantarkan dia jadi staf Rohis (Kerohanian
   Islam) AD yang namanya sekarang Disbintal AD. Karena sering latihan
   volly dengan tentara akhirnya mereka kenal dekat dengan Kosim, apalagi
   kegiatan pengajian Kosim sudah dikenal di mana-mana. Tahun 1960 Kosim
   diangkat oleh Syarbini dan ditetapkan langsung oleh KSAD Jenderal
   Achmad Yani. Karir Disbintal itu ia tunaikan hingga sekarang.
   
   Sabtu pagi pertengahan bulan lalu ketika janjian untuk wawancara kedua
   --dua hari sebelumnya bincang-bincang dilakukan di Radio Kayumanis
   Jakarta-- Kosim sudah ditunggu penjemputnya. Akhirnya wawancara
   dilakukan di mobil Sahid yang meluncur ke Bekasi, dilanjutkan ke Rumah
   Sakit Islam Jakarta Pondok Kopi untuk tabligh akbar, kemudian dalam
   perjalanan pulang ke Cibubur. Wawancara baru berakhir menjelang
   maghrib setelah menghabiskan nasi goreng kambing, air mineral sebotol,
   es strup, lemet singkong, dan kopi. Berikut petikannya.
   
   Anda kelihatan begitu marah soal uang panjar tadi?
   
   Marah sih tidak, saya hanya ingin mengingatkan cara begitu tidak
   mendidik. Kalau saya mau terima uang atau model begituan, kacau.
   Pernah datang orang Malaysia ke sini bawa uang segebok. Uang itu mau
   diberikan kepada saya asal bisa bertemu dengan Mas Bambang atau Mbak
   Tutut. Saya tidak mau.
   
   Adapun kalau selesai pengajian saya diberi HR, saya terima. Kalau saya
   tolak mungkin malah salah. Orang akan mengira, mentang-mentang Kosim
   dekat orang gede, sekarang diundang orang kecil yang kasih duit
   sedikit, tidak mau terima. Dalam suatu pengajian saya pernah dikasih
   HR Rp 10.000,- rupiah, saya terima dengan penuh syukur dan langsung
   saya belikan bensin, Insya Allah perjalanan saya selamat. Jangankan
   dikasih duit, melihat ibu-ibu setua itu mau ngaji saja, senangnya luar
   biasa. Kalau tidak diterima mereka bisa sakit hati, lantas tidak mau
   ngaji. Saya yang salah.
   
   Sering begitu?
   
   Tidak perlu bilang sering atau tidak. Yang penting bagi saya syiar
   makin semarak dan orang makin nikmat beragama. Kalau saya pengajian di
   mushalla yang belum jadi dan harus meninggalkan uang semen, akan saya
   lakukan. Bahkan sering saya harus carikan uang tambahan puluhan juta.
   Untung saya punya teman-teman seperti Mas Ponco (Ponco Sutowo, red)
   dan Bu Ponco. (Sahid juga menyaksi- kan dalam pengajian di RSIJ Pondok
   Kopi, Kosim memimpin hadirin untuk menyumbang pembangunan rumah
   sakit).
   
   Tapi kalau ada pejabat atau pengusaha yang mengundang saya, lantas
   saya harus tanda tangan untuk menerima HR, itu hal wajar sebagai
   penghargaan mereka pada saya. Yang peting tidak ada istighlal,
   dipaksa-paksakan. Mereka begitu karena mampu, dan menganggarkan,
   sementara duitnya ada.
   
   Apa yang Anda rasakan setelah menjadi pembimbing ruhani keluarga
   Presiden?
   
   Pembimbing ruhani keluarga Presiden bukan hanya saya. Terhadap posisi
   saya sekarang saya harus hati-hati, ada yang senang dan ada yang
   tidak. Misalnya, "Baru begitu sudah disebut kiai, ulama kondang dan
   lain-lain. Kiai kok seperti kintel (kodok, red)," begitu komentar
   orang. Jadi saya harus hati-hati. Wong ketika ada kiai yang disebut
   sebagai da'i sejuta ummat saja ada yang tidak senang. Saya mau disebut
   apa saja terserah. Janganlah saya disebut kiai, cukup Pak Kosim saja.
   
   Sebenarnya saya juga ingin sekali mendengarkan ceramah orang lain.
   Karena itu saya sering meminta anak buah menggantikan tugas saya
   ceramah. Kalau sudah begitu biasanya saya ke pinggiran kota, untuk
   mendengarkan khutbah dari kiai-kiai tua, bahkan saya sampai meneteskan
   air mata karena mereka orang-orang yang ikhlas. Saya biasanya melepas
   songkok dan kacamata kemudian duduk di deretan belakang. Sebab songkok
   dan kacamata menjadi trade merk saya.
   
   Keberadaan Anda sebagai kiai dan orang dekat keluarga Presiden sering
   dikaitkan dengan penampilan Anda, misalnya mobil Mercy, hand phone dan
   lainnya. Bagaimana komentar Anda?
   
   Saya ndak naik mercy juga ndak apa-apa Mas. Buktinya sekarang mau ikut
   mobil Anda, bahkan sambil sarapan. Saya juga sering dijemput dengan
   kendaraan biasa, saya malah senang karena mereka melakukan dengan
   ikhlas. Adapun mobil mercy itu pemberian dari anak angkat saya (H.
   Bambang Kotjo Sumpeno, red), dasarnya kasih sayang. Tidak ada hubungan
   kerja apa-apa.
   
   Mereka begitu karena tidak ingin melihat saya kecapekan di jalan,
   padahal saya sering pergi. Mercy saya yang dulu juga atas pemberian
   orang yang simpati pada saya, Pak Is Anwar, kepala suku Minang di
   Jakarta, Baby Benz 1987. Hubungan kerja apa saya dengan beliau? Ndak
   ada, Pak Is merasa bersimpati pada saya. Nah, mobil itu sekarang
   diganti dengan mobil dari anak angkat saya itu. Yang lama dipakai anak
   saya yang bontot.
   
   Anda makan cuma dengan tahu dan tempe?
   
   (Kosim tidak sempat sarapan di rumah, sambil wawancara di mobil ia
   menyantap sarapan paginya). Usia saya sudah kepala enam, saya harus
   menjaga dari hal-hal yang menimbulkan penyakit agar saya tetap
   bermanfaat untuk ummat. Setiap pagi biasanya saya jalan kaki, seminggu
   sekali renang. Tapi ini nggak, karena pagi-pagi sudah Anda jemput.
   Apalagi saya tadi malam pulang setengah dua belas dari rumah Pak
   Somala Wiria (Mantan Direktur BNI 46, red) untuk pengajian. Saya
   nyetir sendiri, karena sopir saya yang dari Mabes kakinya bengkak kena
   asam urat. Alhamdulillah saya masih kuat bawa mobil sendiri. Tiap
   Jum'at malam ada pengajian di rumah beliau.
   
   Ketika menghadiri pemakaman Bu Tien di Ndalem Kalitan, orang bilang,
   "Pak Kosim kalau berdiri kok cepat sekali, padahal badannya besar."
   Itu karena saya rajin olahraga. Kalau sepi atau malam saya masih
   sering mengulang jurus-jurus lama. Semasa di SGO saya belajar bela
   diri. Di Pemuda Muhammadiyah saya mengajar pencak silat.
   
   Ketika berlangsung pemakaman Bu Tien, Anda memperkenalkan tahlilan
   Sunan Kalijaga. Bagaiaman ceritanya?
   
   Tahlilan berasal dari kata hallala, yuhallilu, tahlilan artinya
   membaca, laa ilaha illallah. Tidak ada orang yang melarang bertahlil.
   Tentang tahlilan Sunan Kalijaga itu saya dapatkan ketika duduk di
   bangku Sekolah Guru Atas (SGA) tahun 1953. Saya belajar bahasa Jawa,
   yang mengajar adalah Bendoro Raden Mas Ki Rono Tjitrosantjoko, murid
   kesayangan keluarga Prof. Dr. Ki Purbatjaraka. Beliau ahli bahasa
   Jawa, Kawi, Sanskerta, Prancis, Jerman, hampir semua bahasa beliau
   bisa, apalagi Inggris dan Belanda. Begitu sayangnya kepada saya,
   beliau memanggil saya dengan 'Mas Nurseha'. Beliau bilang, "Wonten
   buku sae, monggo panjenengan waos." (Ini ada buku bagus, silakan
   dibaca, red.) Beliau tahu saya Islamnya kuat, karena dulu menjadi
   musuhnya PKI dan senang baca buku apa saja. Pak Rono tahu kalau saya
   sering didaulat teman sekelas untuk mengajar ketika guru tidak ada.
   Karena itu beliau kasih saya buku tentang Sunan Kalijaga, yang isinya
   tentang proses peng-Islaman tanah Jawa oleh Sunan Kalijaga.
   
   Lantas bagaimana?
   
    Di dalam buku itu disebutkan, kalau ada orang kumpul, Kanjeng Sunang
   Kalijaga biasanya membacakan kalimat-kalimat yang mengantar orang
   semakin dekat kepada Tuhan. Apalagi kalau orang sedang kesusahan, saat
   sensitivitas kepada Tuhan tinggi seklai. Karena itu dibacakanlah
   tahlil dan istighfar, seperti yang saya sampaikan di Ndalem Kalitan
   tempo hari. (Kosim lantas melantunkan bacaan tahlil itu, red.)
   
   Bahkan dalam buku itu dimuat pesan-pesan Kanjeng Sunan Kalijaga: orang
   jangan takut mati, tapi juga jangan takut hidup, sebab hidup merupakan
   bekal orang mati. Kanjeng Sunan Kalijaga juga menyusun tembang Kinanti
   (Kosim lantas melantunkan lagunya juga). "Ono tangis, layung-layung,
   tangise wong wedi mati, gedongono, kuncenono. Moso wurungo wong mati.
   Yo podo-podo suyung. Laa ilaha illallahu." Begitu lafalnya. (Ada
   tangis penuh rasa takut, tangis orang yang takut mati. Sekalipun di
   dalam gedung yang dikunci, tak bakal terhindar. Mari semua prihatin,
   ibunya sakit, mari semua prihatin dengan kalimat laa ilaha illallahu,
   red).
   
   Karena Anda menghadapi tradisi adat Jawa yang masih kental, maka cara
   Sunan Kalijaga masih relevan, begitu?
   
   Betapapun tradisi Jawa itu masih ada, jangan sampai dibabat. Sebab
   nanti malah banyak musuh, kan tidak menguntungkan, tapi juga jangan
   larut. Maka jalan tengahnya seperti yang dilakukan Sunan Kalijaga
   tadi. Kalau ada orang yang mati ingatkan yang hadir kepada Allah. Yang
   mati tetap akan membawa amalnya sendiri. Nah, tahlil yang kita baca
   itu untuk yang hidup.
   
   Nyatanya ada seorang menteri yang bilang, "Pak Kosim, saya yang hidup
   saja pingin mati, apalagi beliau yang wafat, apa ndak tenang," nangis
   dia. Tapi saya bilang, "Jangan ingin mati dulu, periode tugasnya belum
   selesai." Pak Fuad Hasan yang ada di sebelah saya mencolek saya,
   "Dasar dari dulu juga begitu." Pak Fuad memang suka berkelakar dengan
   saya.
   
   Acara yang berlangsung di kediaman Pak Harto mungkin akan ditiru
   masyarakat, mengingat budaya paternalistik kita sangat kuat?
   
   Tidak ada yang melarang orang membaca tahlil. Anda lihat yang
   diucapkan pada acara tahlilan kemarin kan berbeda dengan biasanya,
   bacaannya mudah diikuti orang umum. Lagi pula tidak ada bacaan
   macam-macam. Apa orang Muhammadiyah akan melarang tahlilan begini? Pak
   AR sendiri pernah diundang mimpin tahlilan di Kauman Semarang, beliau
   datang. Yang dibaca ya bacaan biasa seperti tadi. Tidak ada yang
   ribut-ribut. Yang penting akhlak pembawanya.
   
   Kalau tradisi peringatan 7 hari, 40 hari, 100 hari bagaimana
   menerangkannya?
   
   Itu memang usul saya. Apakah kita akan membiarkan Pak Harto dalam
   kesedihan dan kesendirian. Beliau bukan Ketua RT Mas, beliau tumpuan
   ratusan juta rakyat. Kalau pikirannya sedang blank lantas ada orang
   yang memanfaatkan, yang rugi siapa? Ini yang kita jaga sejak awal.
   Lantas kita adakan khataman Qur'an, ada dari PTIQ. Setidak-tidaknya
   dengan bacaan al- Qur'an orang jadi lain. Daripada baca mocopat.
   Alhamdulillah beliau sudah dapat menunaikan tugasnya kembali.
   
   Saya juga minta kepada putra-putranya untuk selalu menemani beliua
   ngobrol di ruang tamu, misalnya. Kalau kelihatan sudah capek baru
   dipersilakan tidur. Dengan demikian beliau tidak menyesal punya anak
   cucu seperti mereka. Dan putra-putranyapun senang.
   
   Bagaimana peran Ibu Tien dalam tugas Pak Harto?
   
   Terus-terang saya tidak tahu persis, tapi yang jelas Bu Tien sangat
   memperhatikan apa yang dikerjakan Pak Harto, jangan sampai salah,
   apalagi salah fatal. Bu Tien sangat memperhatikan kepentingan ummat.
   Beliau merasakan penderitaan rakyat karena beliau adalah istri
   pejuang. Beliau juga sering melakukan hal-hal yang bermanfaat untuk
   ummat. Seperti apa sih dulu ributnya pembangunan Taman Mini Indonesia
   Indah, sekarang semua orang merasa membutuhkan. Demikian juga
   museumnya sekarang orang merasa senang, bahkan ada museum
   Baitul-Qur'an.
   
   Apa yang menarik bagi Anda tentang Bu Tien dan keluarganya?
   
   Beliau-beliau itu orang yang sabar. Dari dulu selalu mengajarkan
   putra-putrinya untuk mengaji. Tapi ada saja fitnah yang muncul,
   misalnya dikatakan Bu Tien itu Katolik, apalagi setelah beliau
   mendapat hadiah rosario dari Paus, geger seperti apa waktu itu. Tapi
   kalau orang dikasih tahu bahwa Bu Tien itu Islam, shalat, komentar
   yang datang malah sebaliknya. "Iya wong dia (Kosim, red) itu antheknya
   Cendana." Begitu.
   
   Jadi meninggalnya Bu Tien sangat besar pengaruhnya pada Pak Harto?
   
   Ya mesti toh Mas. Beliau bukan sekadar istri tapi juga teman dalam
   menyelesaikan masalah baik sebagai pribadi, panglima, sampai jadi
   presiden. Itu istri, garwo: sigarane nyowo (separoh dari nyawa, red.)
   Rasulullah saja ketika ditinggal mati anaknya Ibrahim, menangis. Maka
   dimandikannya Ibrahim di pangkuannya. Sampai Umar setengah mencela,
   "Nabi, ditinggal mati anaknya saja kok menangis." "Ya Umar, ini adalah
   air mata rahmat." Tahun kematian Khadijah disebut aamul huzni, tahun
   duka cita. Ini Nabi. Apalagi Pak Harto, menusia biasa.
   
   Apa implikasi meninggalnya Bu Tien?
   
   Saya tidak tahu. Tapi menurut Amien Rais kan ada dua kelompok yang
   tidak senang dengan Pak Harto. Pertama, mereka yang dulu menikmati
   hasil pembangunan tapi sekarang tidak ikut tampil. Kedua, kelompok
   yang kebelet melihat suksesi. Tapi Amien Rais mensinyalir dua-duanya
   tidak akan terjadi. Persoalan di PDI, NU, LBH, MA saya lihat bukan
   masalah besar. Tapi kalau ABRI sudah pecah, maka negara dan rakyat
   dalam bahaya besar.
   
   Anda lihat apakah perpecahan itu memang ada?
   
   Ada gejala rakyat mulai berani kepada ABRI. Dulu PKI kan begitu.
   Ketika ABRI mulai takut lantas diperalat PKI, sekarang orang
   memperalat oknum ABRI dengan uang ataupun politik.
   
   Apakah ketertarikan keluarga Cendana pada ceramah Anda karena ada
   kecocokan dalam materi ceramah dalam idiom-idiom Jawa?
   
   Ya, mungkin juga, saya tidak berani mengatakan begitu. Tapi saya rasa,
   meskipun sama-sama Jawa tapi kalau perilakunya menjengkelkan, siapa
   sudi. Saya rasa karena kebutuhan fitrahnya terpenuhi. Sejak itu
   kemudian putera-putri beliau diminta memanggil saya, "Mbok ya jangan
   cari duit terus." Begitulah kira-kira beliau.
   
   Bagaimana perasaan Anda ketika pertama kali mendapat tawaran dari
   utusan Bu Tien?
   
   Berat, sungguh berat! Saya minta waktu dua minggu untuk konsultasi
   dengan ulama dan orang-orang yang mengabdi di Setneg serta para orang
   tua yang pernah mengabdi di Cendana. Mereka semua bilang, "Kamu akan
   bisa." Maka bismillah tugas itu saya tunaikan. Alhamdulillah Pak Harto
   akhirnya berkenan menunaikan ibadah hajji.
   
   Anda dan KH. Mashuri Syahid MA disebut sebagai orang yang membuat
   tuntunan pemahaman dan pengamalan Islam pada keluarga Pak Harto,
   bagaimana ceritanya?
   
   Jangan disebut semua seakan-akan dari saya. Pak Harto itu kan
   backgroundnya Muhammadiyah, putra-putrinya sejak kecil sudah mengaji.
   Guru ngajinya ada yang sudah wafat, dan ada yang masih hidup. Cuma
   kemudian agak terputus. Lalu mulai lagi setelah ada kita-kita ini.
   
   Bimbingan apa yang pertama kali Anda berikan kepada putra- putri
   Presiden?
   
   Ya akhlak to Mas, dengan contoh-contoh. Pertama kali yang dilihat
   orang adalah akhlaknya. Dan itu dimulai dari yang ngajar dulu.
   
   Ketika membandingkan Islam dengan Pancasila, Anda mengatakan Islam
   lebih tinggi. Sebagai orang yang dekat dengan Presiden, bagaimana Anda
   bisa mengatakannya tanpa beban?
   
   Lho, saya malah heran, mengapa orang lain kok risi mengatakan itu.
   Semua jelas, Pancasila itu ra'yu, hasil kesepakatan manusia, yang
   kebenarannya tergantung pada kesepakatan manusia. Sedang Islam itu
   wahyu yang tidak terbatas dimensi ruang dan waktu.
   
   Apakah tidak takut mengurangi penghargaan kepada Pancasila yang selama
   ini dianggap agung?
   
   Pancasila memang agung, selama masih dibenarkan manusia. Tapi kalau
   kesepakatannya itu tidak ada, ya tidak lagi. Kalau PKI yang yang
   berkuasa misalnya, Pancasila jadi salah. Tapi karena Pancasila tidak
   bertentangan dengan Islam, maka Islam mendukung Pancasila. Bahwa kita
   menempatkan Islam lebih tinggi, memang harus begitu. Saya dulu kan
   lulusaan terbaik nomor tiga BP 7, Mas. Mestinya nomor satu, tapi
   karena alasan politis jadi nomor tiga, yang nomor satu Iwan Jaya Azis.
   Tapi di Hankam saya lulusan nomor satu, ha..., ha..., ha...
   
   Sebagian orang berpendapat ulama yang dekat penguasa itu jelek, malah
   ada hadits yang menyebutkan sebagai pencuri agama.
   
   Hadits itu konteksnya untuk ulama yang mencari muka pada penguasa yang
   jelek. Tapi nyatanya kan ada penguasa alim, misalnya Umar bin Abdul
   Azis, Umar bin Khaththab. Tapi kalau ada umara yang baik dan ulamanya
   berniat baik, maka yang datang adalah rahmat Allah. Ada juga umaranya
   jelek, tapi kalau ulamanya ikhlas sampai akhirnya umaranya menjadi
   baik, ini juga rahmat. Tapi tetap ada ulama yang berhati iri dan
   dengki, kok tidak saya yang dekat dengan beliau, saya kan lebih...
   
   Bagaimana kalau ada ulama yang aibnya dibuka melalui media massa?
   
   Bukan hanya ulama, terhadap aib siapa saja, Islam mengajarkan untuk
   menutupi. Eh, ini malah jadi bahan bisnis informasi. Saya tidak
   membela siapapun, tetapi berpihak pada yang benar. Ada cara yang lebih
   baik. Lihatlah ummat lain, mereka tidak ribut-ribut, padahal skandal
   begitu kan ada. Tapi mereka tidak gembar-gembor.
   
   Mungkin maksudnya agar yang bersangkutan insyaf dan mencegah
   berkembang kemaksiatan.
   
   Dia memang salah. Tapi kalau dia dipanggil kemudian diberikan nasehat
   baik-baik, kenapa sih. Ini malah jadi ajang bisnis. Bayangkan kalau
   yang diungkap itu aib anak perempuan, atau saudara Anda, bagaimana
   rasanya. Saya tidak membela siapapun. Sebelum munculnya kasus itu,
   saya pernah peringatkan yang bersangkutan, "Hati-hati banyak yang
   tidak senang Anda. Anda masih muda tapi sudah tenar, mobilnya
   ganti-ganti BMW, Pajero, mental belum siap. Kemarin mobilmu sudah
   ditembak orang." Jangankan begitu, misalnya Anda pitheten (cacat
   dipipi, red), kemudian di depan orang banyak saya bilang, "He! Kamu
   kok pitheten," meskipun itu benar, obyektif, tapi tidak normatif. Anda
   mungkin bilang, "Pak Kosim belum pernah digolok ya?" Tapi kalau
   bilang, "Mas saya punya dokter ahli bedah plastik, kita ke sana yuk."
   Tanpa bilang pitheten, Anda ngerti maksud saya dan mungkin lebih
   mengena.
   
   Bercampurnya nilai Jawa dan Islam mestinya hanya pada masa transisi,
   tapi sekarang malah semakin berkembang.
   
   Segalanya mesti melalui proses. Kita harus menghitung matematika
   psikologis, sosiologis, dan matematika antropologis. Yang namanya
   aqiqah misalnya, dulu merupakan tradisi jahiliyah, tapi oleh Nabi
   di-Islamkan, malah jadi syariat. Bagaimana Kanjeng Sunan Kalijaga
   memvisualkan nasehat dan doa-doa pada acara per- kawinan misalnya.
   'Gapura' yang berasal dari 'ghafura' mendidik agar undangan mendoakan
   dan memintakan ampunan pengantin. 'Padi' menasehatkan agar sang
   penganten jangan sampai kekurangan pangan. 'Gedang' (pisang, red);
   digeget padang, menasehatkan agar rejeki yang didapatkan jangan
   langsung dihabiskan, tapi sebagian dita- bung. 'Cengkir' kencenge
   pikir, memperingatkan akan kematangan berpikir pada kedua pihak, sebab
   berkeluarga bukan peristiwa sesaat. 'Tebu' mantepe kalbu, mantapnya
   hati, sebab sekarang masih ganteng dan ayu, tapi nanti jadi
   kakek-nenek keriput. Lantas semua itu tidak ada artinya sebelum adanya
   'janur kuning'. Janur berasal dari Nur artinya cahaya, kuning
   maksudnya Ning artinya bening.
   
   Jadi simbol-simbol itu masih perlu?
   
   Masih perlu ada. Wong sekarang semua orang ngomong juga simbolis.
   
   Menarik sekali ceramah Anda tentang rumah tangga tadi. Tapi sekarang
   banyak kondisi berubah sehingga mempengaruhi struktur dalam rumah
   tangga.
   
   Ada faktor internal dan eksternal. Internal, itu menyangkut
   kepribadian istri yang telah dibentuk oleh pendidikan dan pengaruh
   agama. Kalau istri tidak menempatkan suami sebagaimana mestinya,
   artinya penghayatan terhadap agama masih rendah, meskipun ia pintar,
   shalat, hajji dan lain- lain., ya repot. Agama tidak hanya 'how to
   know' tapi juga 'how to do' yaitu menanamkan nilai-nilai pada diri
   sendiri. Shalat, puasa dan hajji tidak menjamin seseorang menjadi
   shalihah. Faktor eksternal karena pengaruh lingkungan, teman sekerja,
   pergaulan, dan sebagainya ikut punya andil.
   
   Dalam surah an-Nisa Allah berfirman, ar-rijalu qawwamuuna 'alan-nisaa,
   laki-laki bertanggungjawab atas wanita. Yang berkewajiban mencari
   nafkah dan menghidupi keluarga adalah suami, kalau toh istri bekerja
   itu sifatnya membantu. Bahwa rejeki suami seberapa, itu urusan Allah.
   Meskipun jabatan dan gaji istri lebih tinggi, tidak diperkenankan
   memandang rendah suami. Status istri tetap istri, karena jabatan tidak
   mengubah status. Jangan sampai kelebihan yang dikaruniakan Allah
   menyebabkan seseorang menjadi superior dibanding yang lain.
   
   Bisa diceritakan tentang masa muda Anda?
   
   Saya pernah aktif di PII, karena aspirasi PII pada ummat Islam. Saat
   itu kita berusaha untuk membendung pengaruh PKI dan underbownya
   seperti BTI, Lekra, Serikat Buruh, dan sebagainya. Saking asyiknya
   ngurus PPI sampai lupa pulang. Pengaruh PKI kita lawan dengan
   pengajian dan training- training se-wilayah Ambarawa. Kita pakai jaket
   merah, namanya brigade PII, bangga sekali ketika itu.
   
   Bagaimana bentuk kebencian PKI saat itu?
   
   Suatu malam penginapan saya didatangi oleh orang-orang PKI. Waktu itu
   saya sudah menjadi wakil kepala sekolah SR. Saya mau dibunuh. Mereka
   teriak-teriak, "Keluarkan Mas guru." Itu panggilan saya. Di dalam
   rumah ada saya dan teman, Mohammad Kafi. Saya sudah pasrah. Tapi
   alhamdulillah Allah menakdirkan lain. Itu terjadi tahun 1958.
   
   Orang tua nggak khawatir?
   
   Orang tua marah-marah karena saya tidak mau ngurusi diri sendiri dan
   tidak mau dikawinkan. Tahun 1959 saya jadi kepala sekolah, karena
   kepala sekolah sebelumnya pensiun. Saat itu saya disuruh kawin oleh
   orang tua bersamaan dengan Dekrit Presiden, 5 Juli 1959. Habis kawin
   aktif lagi di PII, bahkan lebih banyak ngurus PII dari pada anak.
   Habis, kalau training bulan puasa, menjelang lebaran baru pulang. Ndak
   sempat bikin anak. Orang tua marah-marah. Akhirnya kita mikir, sebab
   tidak punya apa-apa, sawah tidak punya, rumah kontrak.
   
   Tahun 1959 ingin ke kota sekolah lagi, tapi tidak boleh, akhirnya
   keluar dari kepala sekolah. Lantas sekolah di Sekolah Pendidikan
   Djasmani, milik IKIP, waktu itu Undip masih swasta. Naik tingkat II
   bergabung dengan FKIP jurusan Pendidikan Djasmani Undip. Dan pada
   tingkat III menjadi asisten dosen di FKIP. Ketika lulus sarjana muda
   namanya berubah lagi menjadi Sekolah Tinggi Olahraga karena ada
   Menteri Olahraga Pak Maladi.
   
   Saya juga pernah bekerja di berbagai tempat, di antaranya mengajar di
   Akademi Minyak dan Gas, Universitas Islam Sultan Agung (Unisula)
   Semarang. Ketika mengajar di Unisula saya juga kuliah di Fakultas
   Hukum, tapi nggak selesai.
   
   Nilai apa yang Anda dapatkan semasa aktif di PII?
   
   Kita menjadi orang yang punya cita-cita dan jati diri karena mendapat
   celupan Islamiyah. Waktu itu kita anti-pemerintah Orde Lama karena
   pemerintah pro-PKI. Tapi sejak Orde Baru kita pro-Orde Baru. Kita
   luwes, karena ngerti politik. Waktu jaman PKI kita ikut mengejar
   Aidit, ketika bersembunyi di rumah Gushadi di kebun singkong. Waktu
   itu kita mengatasnamakan dari Brigade PII. Makanya kita kenal baik
   dengan tokoh RPKAD. Dengan Pak Sarwo Edi Wibowo kita akrab. Dari dulu
   saya sering ikut perang, bahkan pernah ditangkap Belanda dan
   dipenjarakan.
   
   Bagaimana perasaan Anda ketika PII dibubarkan?
   
   PII bubar karena ada orang yang campur tangan, dan mereka ingin PII
   bubar dengan cara agar tetap tidak mau Pancasila sebagai asas tunggal
   ketika itu. Saya sangat sedih.
   
   Anda sering bilang terbatas ngomong, karena dekat dengan Presiden.
   Memang ada himbauan begitu atau mau Anda sendiri?
   
   Ini merupakan disiplin militer. Dalam militer apa yang tidak
   diperintahkan jangan dilakukan. Apalagi menyangkut diri orang lain.
   Lagi pula saya ingin 'mikul dhuwur mendhem jero'. Bagaimanapun Pak
   Harto adalah bapak kami dan Bu Tien adalah ibu kami. Saya merasa
   beliau sangat memperhatikan kami
Bookmark and Share

0 comments:

Post a Comment