ANTARA TIGA KOTA
Oleh :
Emha Ainun Najib

di yogya aku lelap tertidur
angin di sisiku mendengkur
seluruh kota pun bagai dalam kubur
pohon-pohon semua mengantuk
di sini kamu harus belajar berlatih
tetap hidup sambil mengantuk
kemanakah harus kuhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga ?

Jakrta menghardik nasibku
melecut menghantam pundakku
tiada ruang bagi diamku
matahari memelototiku
bising suaranya mencampakkanku
jatuh bergelut debu
kemanakah harus juhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga

surabaya seperti ditengahnya
tak tidur seperti kerbau tua
tak juga membelalakkan mata
tetapi di sana ada kasihku
yang hilang kembangnya
jika aku mendekatinya
kemanakah haru kuhadapkan muka
agar seimbang antara tidur dan jaga ?
Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO,
1997



MENANGIS
Emha Ainun Nadjib (1987)


Sehabis sesiangan bekerja di sawah-sawah serta disegala macam
yang diperlukan oleh desa rintisan yang mereka dirikan jauh di
pedalaman, Abah Latif mengajak para santri untuk sesering
mungkin bersholat malam.

Senantiasa lama waktu yang diperlukan, karena setiap kali
memasuki kalimat " iyyaka na'budu " Abah Latif biasanya lantas
terhenti ucapannya, menangis tersedu-sedu bagai tak
berpenghabisan.

Sesudah melalui perjuangan batin yang amat berat untuk melampaui
kata itu, Abah Latif akan berlama-lama lagi macet lidahnya
mengucapkan " wa iyyaka nasta''in" .

Banyak di antara jamaah yang turut menangis, bahkan terkadang
ada satu dua yang lantas ambruk ke lantai atau meraung-raung.

"Hidup manusia harus berpijak, sebagaimana setiap pohon harus
berakar," berkata Abah Latif seusai wirid bersama, " Mengucapkan
kata-kata itu dalam Al-fatihah pun harus ada akar d an
pijakannya yang nyata dalam kehidupan. 'Harus' di situ titik
beratnya bukan sebagai aturan, melainkan memang demikianlah
hakikat alam, di mana manusia tak bisa berada dan berlaku
selain di dalam hakikat itu."

"Astaghfirulloh, astaghfirulloh..," gemeremang mulut para santri.

" Jadi, anak-anakku," beliau melanjutkan, " apa akar dan pijakan
kita dalam mengucapkan kepada Alloh ..iyyaka na'budu?"

"Bukankah tak ada salahnya mengucapkan sesuatu yang toh baik dan
merupakan bimbingan Alloh itu sendiri, Abah?" bertanya seorang
santri.

"Kita tidak boleh mengucapkan kata, Nak, kita hanya boleh
mengucapkan kehidupan."

"Belum jelas benar bagiku, Abah?"

" Kita dilarang mengucapkan kekosongan, kita hanya diperkenankan
mengucapkan kenyataan."

"Astaghfirulloh, astaghfirulloh..," geremang mulut para santri.

Dan Abah Latif meneruskan, " Sekarang ini kita mungkin sudah
pantas mengucapkan iyyaka na'budu.KepadaMu aku menyembah.Tetapi
kaum Muslimin masih belum memiliki suatu kondisi keumatan untuk
layak berkata kepadaMu kami menyembah, na'budu."

"Al-Fatihah haruslah mencerminkan proses dan tahapan pencapaian
sejarah kita sebagai diri pribadi serta kita sebagai ummatan
wahidah.Ketika sampai di kalimat na'budu, tingkat yang harus kita
telah capai lebih dari abdullah, yakni khalifatulloh.Suatu maqom
yang dipersyarati oleh kebersamaan kamu muslim dalam menyembah
Alloh di mana penyembahan itu diterjemahkan ke dalam setiap
bidang kehidupan.Mengucapkan iyyaka na'budu dalam sholat mustilah
memiliki akar dan pijakan di mana kita kaum muslim telah membawa
urusan rumah tangga, urusan perniagaan, urusan sosial dan politik
serta segala urusan lain untuk menyembah hanya kepada Alloh.Maka
anak-anakku, betapa mungkin dalam keadaan kita dewasa ini lidah kita
tidak kelu dan airmata tak bercucuran tatkala harus mengucapan
kata-kata itu?"

"Astaghfirulloh, astaghfirulloh..," gemeremang para santri.

"Al-fatihah hanya pantas diucapkan apabila kita telah saling
menjadi khalifatulloh di dalam berbagai hubungan kehidupan.Tangis
kita akan sungguh-sungguh tak tak berpenghabisan karena dengan
mengucapkan wa iyyaka nasta'in, kita telah secara terang-terangan
menipu Tuhan.Kita berbohong kepada-Nya berpuluh-puluh kali dalam
sehari.Kita nyatakan bahwa kita meminta pertolongan hanya kepada
Alloh, padahal dalam sangat banyak hal kita lebih banyak
bergantung kepada kekuatan, kekuasaan dan mekanisme yang pada
hakikatnya melawan Alloh."

Astaghfirulloh, astaghfirulloh..," geremang mulut para santri.

"Anak-anakku, pergilah masuk ke dalam dirimu sendiri, telusurilah
perbuatan-perbuatanmu sendiri, masuklah ke urusan-urusan manusia di
sekitarmu, pergilah ke pasar, ke kantor-kantor, ke
panggung-panggung dunia yang luas: tekunilah, temukanlah salah
benarnya ucapan-ucapanku kepadamu.Kemudian peliharalah kepekaan dan
kesanggupan untuk tetap bisa menangis.Karena alhamdulillah,
seandainya sampai akhir hidup kita hanya diperkenankan untuk
menangis karena keadaan-keadaan itu : airmata saja pun sanggup
mengantarkan kita kepada-Nya."

----------------------------------------------------

Dari :
Seribu Masjid Satu Jumlahnya
Tahajjud cinta seorang hamba
Penerbit Mizan 19995


Emha Ainun Nadjib: Gusti Allah tidak "ndeso" (kampungan)

Friday, 23. March 2007, 02:48
Emha Ainun Nadjib: Gusti Allah tidak "ndeso" (kampungan)

Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun :

"Cak Nun," kata sang penanya, "misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu: pergi ke masjid untuk shalat Jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?"


Cak Nun menjawab lantang, "Ya nolong orang kecelakaan." "Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?" kejar si penanya. "Ah, mosok Gusti Allah ndeso gitu," jawab Cak Nun.


"Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak, " katanya lagi. "Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yang memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi."


Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong, Tuhan tidak berada di mesjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu. Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang.

Kata Tuhan:

Kalau engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu.

Kalau engkau menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu.

Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.

Seraya bertanya balik, Emha berujar, "Kira-kira Tuhan suka yang mana dari tiga orang ini.

Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca al-quran, membangun masjid, tapi korupsi uang negara.

Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran, menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat permusuhan.

Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?"


Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga.


Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid.

Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi menginjak- injaknya.

Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang sesungguhnya sembahyang dan membaca al-quran.


Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya: kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama.


Idealnya, orang beragama itu mesti shalat, misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang.


Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama. Bila kita cuma puasa, shalat, baca al-quran, pergi kebaktian, misa, datang ke pura, menurut saya, kita belum layak disebut orang yang beragama.

Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin, memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang beragama.


Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan personalnya, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial.


Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya.

Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama.


Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum mustadh'afin (kaum tertindas).


Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya. Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan.


Ekstrinsik Vs Intrinsik


Dalam sebuah hadis diceritakan, suatu ketika Nabi Muhammad SAW mendengar berita perihal seorang yang shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi menyakiti tetangganya dengan lisannya.

Nabi Muhammad SAW menjawab singkat, "Ia di neraka."

Hadis ini memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum cukup.


Ibadah ritual mesti dibarengi ibadah sosial. Pelaksanaan ibadah ritual yang tulus harus melahirkan kepedulian pada lingkungan sosial.


Hadis di atas juga ingin mengatakan, agama jangan dipakai sebagai tameng memperoleh kedudukan dan citra baik di hadapan orang lain.

Hal ini sejalan dengan definisi keberagamaan dari Gordon W Allport.

Allport, psikolog, membagi dua macam cara beragama: ekstrinsik dan intrinsik.


Yang ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan. Agama dimanfaatkan demikian rupa agar dia memperoleh status darinya. Ia puasa, misa, kebaktian, atau membaca kitab suci, bukan untuk meraih keberkahan Tuhan, melainkan supaya orang lain menghargai dirinya.

Dia beragama demi status dan harga diri. Ajaran agama tidak menghujam ke dalam dirinya.

Yang kedua, yang intrinsik, adalah cara beragama yang memasukkan nilai-nilai agama ke dalam dirinya. Nilai dan ajaran agama terhujam jauh kedalam .



Kita Bukan Bangsa Pemalas

source: suara merdeka, Kamis, 16 Oktober 2003

ORANG yang gumunan sering mengatakan, satu orang Jepang kualitas dan tenaganya sama dengan 5 orang Indonesia. Sementara satu orang Korea sama dengan 3 orang Jepang. Jadi 15 orang Indonesia baru bisa menandingi satu orang Korea. Yang dibandingkan adalah stamina dan etos kerjanya, keuletan dan kerajinannya, kadar profesionalitas dan manajerialnya.

Tentu itu berangkat dari kenyataan industri dan perekonomian Korea yang semakin menguasai dunia. Padahal negaranya kecil, tak punya kekayaan alam, laki-lakinya jarang yang ganteng dan perempuannya tak ada yang mampu menandingi kecantikan artis-artis kita.

Memang sesudah sampai awal tahun 80-an Korsel kacau kepribadian kebangsaannya, sesudah ditandangi oleh pemerintahan militer yang bersikap sangat memacu kerja keras rakyatnya, yang menempelengi koruptor dan para pemalas. Akhirnya bangkitlah bangsa Korea, dan sekarang langit bumi mengaguminya.

Tetapi kalau kesimpulan itu mengandung tuduhan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa pemalas, sangat suka mencuri, tak mau jalan kecuali jalan pintas, main bola sambil duduk tapi ingin menang 5-0 dan kalau kemasukan gol marah-marah – itu salah besar!

Bangsa Indonesia bukan bangsa pemalas. Kita adalah bangsa yang memang tidak perlu rajin, tidak membutuhkan keuletan, tidak mau ngoyo, cukup ikut sidang-sidang kemudian bisa bikin supermarket, dll. Kita bangsa yang kaya raya sejak dari sononya, sehingga cukup mengisi kehidupan dengan joget dan tidur saja, tidak perlu repot-repot seperti bangsa-bangsa lain. Sedemikian adil makmur aman sejahteranya negara kita, sehingga kita tidak membutuhkan pemerintahan yang baik.

Demi membantah pendapat di atas, saya nekat terbang ke Korea. Mohon maaf minggu kemarin saya absen menulis karena itu. Tapi karena di negeri ginseng itu saya tidak tahu jalan, maka 12 hari baru bisa pulang kembali ke tanah air. Apalagi orang Korea sangat benci kepada Amerika Serikat, sehingga mereka sangat gengsi untuk memakai bahasa Inggris. Jadi semua informasi, petunjuk-petunjuk di jalan dan di mana saja hampir 99% memakai bahasa dan tulisan Korea.

Dulu mereka benci Jepang karena sebagaimana kita Indonesia, mereka juga dijajah Jepang, rakyatnya diperbudak, kerajaannya dibakar habis – sampai akhirnya di kemudian hari mereka mengimpor kayu dari Kalimantan untuk bikin bangunan kraton yang dimirip-miripkan dengan aslinya.

Korea merdeka dari Jepang dua hari sebelum kita, yakni 15 Agustus 1945. Sekarang di zaman modern mereka punya sasaran kebencian yang lebih besar, yaitu Amerika Serikat – meskipun tentu saja hati rakyat mereka tidak tercermin oleh sikap pemerintah mereka. Namanya juga pemerintah, tentu agak aneh kalau sepak terjangnya mirip dengan kelakuan rakyatnya.

Saya jadi enthung thilang-thileng di Encheon, Seoul, Busan, sampai ke pinggiran Suwon, Ansan dll. Mana gedung-gedungnya tinggi-tinggi amat. Belum lagi kereta bawah tanahnya silang sengkarut berlapis-lapis mengiris-iris bertingkat-tingkat ke bawah permukaan bumi. Keluar dari subway saja saya pasti bingung, apalagi setiap subway di bawah tanah itu ada lapisan-lapisan pasar yang masing-masing se-kecamatan luasnya. Huruf latin tak ada 5% jumlahnya.

Lebih celaka lagi karena kebanyakan orang Korea tidak bisa berbahasa Indonesia, sementara kemampuan bahasa saya juga sangat awam. Kalau ke Mesir, Arab, Jordan, Syria atau Israel, saya selalu mengaku kepada orang-orang di sana bahwa saya lebih mampu berbahasa Inggris dibanding bahasa Arab.

Sementara kalau saya ke London, Ann Arbor, atau ke Perth, saya selalu memamerkan bahwa memang bahasa Inggris saya sangat buruk – tapi kan bahasa Arab saya sangat OK.

Padahal orang Korea sangat jarang tidur. Jam 11 malam saya ketemu anak-anak SMP pulang sekolah. Jam 1 dinihari mahasiswa-mahasiswi pulang kuliah. Mulai jam 2 pagi Pasar Dong Daimun, Nam Daimun atau mall Doota justru sedang ramai-ramainya. Karena kita negara sejahtera maka Jakarta macet sore-sore kita sudah cemas, padahal di Seoul jam 3 pagi di sana – sini traffic jam.

Begitu banyak orang, tapi saya tak bisa omong apa-apa. Ada satu dua kata Korea saya tahu, tapi hilang maknanya karena setiap kata ditambah “see” atau “ee”. Sampai akhirnya saya ngedumel sendiri dan menyanyikan lagu Indonesia berjudul “Asek”. Bunyinya: “Asekuntum mawar meraaah, o o o….”

Alhasil saya kebingungan. Tak tahu utara selatan. Karena di luar Indonesia orang ngertinya kanan kiri depan belakang atas bawah. Barat timur sudah lenyap. Karena Tuhan sendiri berfirman bahwa la syarqiyyah wa la ghorbiyyah.. Tak timur, tak barat.

Untung saya ditolong oleh seorang direktur utama sebuah perusahaan pembuat alat-alat Security System dan software komputer, terutama Internet Multimedia Phone.

Sebagai orang udik saya terbengong-bengong di tepi jalan, sampai akhirnya dihampiri oleh beliaunya itu. Seorang Sajang, alias juragan perusahaan besar – meskipun tak sebesar Samsung, SK, LG atau Honde (Hyundai) – yang barusan pimpinannya bunuh diri terjun dari gedung tinggi gara-gara rahasia keuangan ekstra perusahaannya yang terkait dengan Korea Utara.

Tapi Pak Sajang ini kelakuannya sungguh aneh. Saya didatangi, dikasih rokok, diajak makan, bahkan dia membawa wajan sendiri untuk keperluan penggorengan makan kami. Saya dikursus bagaimana menggunakan sumpit. Kemudian beliau mengajak saya keliling melihat-lihat kantor-kantor dan pabriknya. Saya dibikin terkagum-kagum dipameri kunci atau gembok pintu yang detektor pembukanya menggunakan sidik jari. Kalau sidik jari kita belum terdaftar, nggak bisa buka pintu. Kemudian bahkan ada gembok yang berdasarkan sinar mata kita. Meskipun nama saya Ainun, artinya mata – tetap saja pintu itu tak bergeming meskipun saya pelototi habis-habisan sampai mengerahkan ilmu kebatinan Kaliwungu, Banten, Tulungagung dll.

Mohon maaf ruangan untuk tulisan ini sudah habis. Minggu depan saya sambung dari Malaysia, karena Pak Sajang itu menyuruh saya ke KL tgl 17 lusa. (18)


BEGITU ENGKAU BERSUJUD
Oleh :
Emha Ainun Najib

Begitu engakau bersujud, terbangunlah ruang
yang kau tempati itu menjadi sebuah masjid
Setiap kali engkau bersujud, setiap kali
pula telah engkau dirikan masjid
Wahai, betapa menakjubkan, berapa ribu masjid

telah kau bengun selama hidupmu?
Tak terbilang jumlahnya, menara masjidmu
meninggi, menembus langit, memasuki
alam makrifat

Setiap gedung, rumah, bilik atau tanah, seketika
bernama masjid, begitu engkau tempati untuk bersujud
Setiap lembar rupiah yang kau sodorkan kepada
ridha Tuhan, menjelma jadi sajadah kemuliaan
Setiap butir beras yang kau tanak dan kau tuangkan
ke piring ke-ilahi-an, menjadi se-rakaat sembahyang
Dan setiap tetes air yang kau taburkan untuk
cinta kasih ke-Tuhan-an, lahir menjadi kumandang suara
adzan

Kalau engkau bawa badanmu bersujud, engkaulah masjid
Kalau engkau bawa matamu memandang yang dipandang
Allah, engkaulah kiblat
Kalau engkau pandang telingamu mendengar yang
didengar Allah, engkaulah tilawah suci
Dan kalau derakkan hatimu mencintai yang dicintai
Allah, engkaulah ayatullah

Ilmu pengetahuan bersujud, pekerjaanmu bersujud,
karirmu bersujud, rumah tanggamu bersujud, sepi
dan ramaimu bersujud, duka deritamu bersujud
menjadilah engkau masjid
1987
Pengirim Subhan Toba
Jumat 6 Januari 2000


DARI BENTANGAN LANGIT
Oleh :
Emha Ainun Najib

Dari bentangan langit yang semu
Ia, kemarau itu, datang kepadamu
Tumbuh perlahan. Berhembus amat panjang
Menyapu lautan. Mengekal tanah berbongkahan
menyapu hutan !
Mengekal tanah berbongkahan !
datang kepadamu, Ia, kemarau itu
dari Tuhan, yang senantia diam
dari tangan-Nya. Dari Tangan yang dingin dan tak menyapa
yang senyap. Yang tak menoleh barang sekejap.
Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO,
1997

DITANYAKAN KEPADANYA
Oleh :
Emha Ainun Najib

Ditanyakan kepadanya siapakah pencuri
Jawabnya: ialah pisang yang berbuah mangga
Tak demikian Allah menata
Maka berdusta ia

Ditanyakan kepadanya siapakah penumpuk harta
Jawabnya: ialah matahari yang tak bercahaya
Tak demikian sunnatullah berkata
Maka cerdusta ia

Ditanyakan kepadanya siapakah pemalas
Jawabnya: bumi yang memperlambat waktu edarnya
Menjadi kacaulah sistem alam semesta
Maka berdusta ia
Ditanyakan kepadanya sapakah penindas
Jawabnya: ialah gunung berapi masuk kota
Dilanggarnya tradisi alam dan manusia
Maka berdusta ia

Ditanyakan kepadanya siapa pemanja kebebasan
Ialah burung terbang tinggi menuju matahari
Burung Allah tak sedia bunuh diri
Maka berdusta ia

Ditanyakn kepadanya siapa orang lalai
Ialah siang yang tak bergilir ke malam hari
Sedangkan Allah sedemikian rupa mengelola
Maka berdusta ia

Ditanyakan kepadanya siapa orang ingkar
Ialah air yang mengalir ke angkasa
Padahal telah ditetapkan hukum alam benda
Maka berdusta ia

Kemudian siapakah penguasa yang tak memimpin
Ialah benalu raksasa yang memenuhi ladang
Orang wajib menebangnya
Agar tak berdusta ia

Kemudian siapakah orang lemah perjuangan
Ialah api yang tak membakar keringnya dedaunan
Orang harus menggertak jiwanya
Agar tak berdusta ia
Kemudian siapakah pedagang penyihir
Ialah kijang kencana berlari di atas air
Orang harus meninggalkannya
Agar tak berdusta ia

Adapun siapakah budak kepentingan pribadi
Ialah babi yang meminum air kencingnya sendiri
Orang harus melemparkan batu ke tengkuknya
Agar tak berdusta ia

Dan akhirnya siapakah orang tak paham cinta
Ialah burung yang tertidur di kubangan kerbau
Nyanyikan puisi di telinganya
Agar tak berdusta ia
1988
Pengirim Subhan Toba
Jumat 7 Januari 2000

IKRAR
Oleh :
Emha Ainun Najib

Di dalam sinar-Mu
Segala soal dan wajah dunia
Tak menyebabkan apa-apa
Aku sendirilah yang menggerakkan laku
Atas nama-Mu

Kuambil siakp, total dan tuntas
maka getaranku
Adalah getaran-Mu
lenyap segala dimensi
baik dan buruk, kuat dan lemah
Keutuhan yang ada
Terpelihara dalam pasrah dan setia

Menangis dalam tertawa
Bersedih dalam gembira
Atau sebaliknya
tak ada kekaguman, kebanggaan, segala belenggu
Mulus dalam nilai satu

Kesadaran yang lebih tinggi
Mengatasi pikiran dan emosi
menetaplah, berbahagialah
Demi para tetangga
tetapi di dalam kamu kosong
Ialah wujud yang tak terucapkan, tak tertuliskan
Kugenggam kamu
Kau genggam aku

Jangan sentuh apapun
Yang menyebabkan noda
Untuk tidak melepaskan, menggenggam lainnya
Berangkat ulang jengkal pertama
Antologi Puisi XIV Penyair Yogya, MALIOBORO,
1997

KETIKA ENGKAU BERSEMBAHYANG
Oleh :
Emha Ainun Najib

Ketika engkau bersembahyang
Oleh takbirmu pintu langit terkuakkan
Partikel udara dan ruang hampa bergetar
Bersama-sama mengucapkan allahu akbar

Bacaan Al-Fatihah dan surah
Membuat kegelapan terbuka matanya
Setiap doa dan pernyataan pasrah
Membentangkan jembatan cahaya

Tegak tubuh alifmu mengakar ke pusat bumi
Ruku' lam badanmu memandangi asal-usul diri
Kemudian mim sujudmu menangis
Di dalam cinta Allah hati gerimis

Sujud adalah satu-satunya hakekat hidup
Karena perjalanan hanya untuk tua dan redup
Ilmu dan peradaban takkan sampai
Kepada asal mula setiap jiwa kembali

Maka sembahyang adalah kehidupan ini sendiri
Pergi sejauh-jauhnya agar sampai kembali
Badan di peras jiwa dipompa tak terkira-kira
Kalau diri pecah terbelah, sujud mengutuhkannya

Sembahyang di atas sajadah cahaya
Melangkah perlahan-lahan ke rumah rahasia
Rumah yang tak ada ruang tak ada waktunya
Yang tak bisa dikisahkan kepada siapapun

Oleh-olehmu dari sembahyang adalah sinar wajah
Pancaran yang tak terumuskan oleh ilmu fisika
Hatimu sabar mulia, kaki seteguh batu karang
Dadamu mencakrawala, seluas 'arasy sembilan puluh sembilan
1987
Pengirim Subhan Toba
Jumat 7 Januari 2000

KITA MASUKI PASAR RIBA
Oleh :
Emha Ainun Najib

Kita pasar r iba
Medan perang keserakahan
Seperti ikan dalam air tenggelam

Tak bisa ambil jarak
Tak tahu langit
Ke kiri dosa ke kanan dusta

Bernapas air
Makan minum air
Darah riba mengalir

Kita masuki pasar riba
Menjual diri dan Tuhan
Untuk membeli hidup yang picisan
Telanjur jadi uang recehan
Dari putaran riba politik dan ekonomi
Sistem yang membunuh sebelum mati

Siapakah kita ?
Wajah tak menentu jenisnya
Tiap saat berganti nama

Tegantung kepentingannya apa
Tergantung rugi atu laba
Kita pilih kepada siapa tertawa
1987
Pengirim Subhan Toba
Jumat 7 Januari 2000

KUDEKAP KUSAYANG-SAYANG
Oleh :
Emha Ainun Naijb

Kepadamu kekasih kupersembahkan segala api keperihan
di dadaku ini demi cintaku kepada semua manusia
Kupersembahkan kepadamu sirnanya seluruh kepentingan
diri dalam hidup demi mempertahankan kemesraan rahasia,
yang teramat menyakitkan ini, denganmu

Terima kasih engkau telah pilihkan bagiku rumah
persemayaman dalam jiwa remuk redam hamba-hambamu
Kudekap mereka, kupanggul, kusayang-sayang, dan ketika
mereka tancapkan pisau ke dadaku, mengucur darah dari
mereka sendiri, sehingga bersegera aku mengusapnya,
kusumpal, kubalut dengan sobekan-sobekan bajuku
Kemudian kudekap ia, kupanggul, kusayang-sayang,
kupeluk,
kugendong-gendong, sampai kemudian mereka tancapkan
lagi pisau ke punggungku, sehingga mengucur lagi darah
batinnya, sehingga aku bersegera mengusapnya,
kusumpal,
kubalut dengan sobekan-sobekan bajuku, kudekap,
kusayang-sayang.
1994
(Dari Kumpulan sajak Abracadabra Kita Ngumpet,
Yayasan Bentang Budaya Yogyakarta, 1994, halaman 7)
Republika, 24 Januari 1999

MEMECAH MENGUTUHKAN
Oleh :
Emha Ainun Najib

Kerja dan fungsi memecah manusia
Sujud sembahyang mengutuhkannya
Ego dan nafsu menumpas kehidupan
Oleh cinta nyawa dikembalikan

Lengan tanganmu tanggal sebelah
Karena siang hari politik yang gerah
Deru mesin ekonomi membekukan tubuhmu
Cambuk impian membuat jiwamu jadi hantu

Suami dan istri tak saling mengabdi
Tak mengalahkan atau memenangi
Keduanya adalah sahabat bergandengan tangan
Bersama-sama mengarungi jejeak Tuhan

Kalau berpcu mempersaingkan hari esok
Jangan lupakan cinta di kandungan cakrawala
Kalau cemas karena diiming-imingi tetangga
Berkacalah pada sunyi di gua garba rahasia
1987
Pengirim Subhan Toba
Jumat 6 Januari 2000

SEPENGGAL PUISI CAK NUN
Oleh :
Emha Ainun Najib

sayang sayang kita tak tau kemana pergi
tak sanggup kita dengarkan suara yang sejati
langkah kita mengabdi pada kepentingan nafsu sendiri
yang bisa kita pandang hanya kepentingan sendiri

loyang disangka emas emasnya di buang buang
kita makin buta yang mana utara yang mana selatan
yang kecil dibesarkan yang besar di remehkan
yang penting disepelekan yang sepele diutamakan

Allah Allah betapa busuk hidup kami
dan masih akan membusuk lagi
betapa gelap hari di depan kami
mohon ayomilah kami yang kecil ini

SERIBU MASJID SATU JUMLAHNYA
Oleh :
Emha Ainun Najib

Satu
Masjid itu dua macamnya
Satu ruh, lainnya badan
Satu di atas tanah berdiri
Lainnya bersemayam di hati

Tak boleh hilang salah satunyaa
Kalau ruh ditindas, masjid hanya batu
Kalau badan tak didirikan, masjid hanya hantu
Masing-masing kepada Tuhan tak bisa bertamu

Dua
Masjid selalu dua macamnya
Satu terbuat dari bata dan logam
Lainnya tak terperi
Karena sejati

Tiga
Masjid batu bata
Berdiri di mana-mana
Masjid sejati tak menentu tempat tinggalnya
Timbul tenggelam antara ada dan tiada
Mungkin di hati kita
Di dalam jiwa, di pusat sukma
Membisikkannama Allah ta'ala
Kita diajari mengenali-Nya

Di dalam masjid batu bata
Kita melangkah, kemudian bersujud
Perlahan-lahan memasuki masjid sunyi jiwa
Beriktikaf, di jagat tanpa bentuk tanpa warna

Empat
Sangat mahal biaya masjid badan
Padahal temboknya berlumut karena hujan
Adapun masjid ruh kita beli dengan ketakjuban
Tak bisa lapuk karena asma-Nya kita zikirkan

Masjid badan gmpang binasa
Matahari mengelupas warnanya
Ketika datang badai, beterbangan gentingnya
Oleh gempa ambruk dindingnya
Masjid ruh mengabadi
Pisau tak sanggup menikamnya
Senapan tak bisa membidiknya
Politik tak mampu memenjarakannya

Lima
Masjid ruh kita baw ke mana-mana
Ke sekolah, kantor, pasar dan tamasya
Kita bawa naik sepeda, berjejal di bis kota
Tanpa seorang pun sanggup mencopetnya

Sebab tangan pencuri amatlah pendeknya
Sedang masjid ruh di dada adalah cakrawala
Cengkeraman tangan para penguasa betapa kerdilnya
Sebab majid ruh adalah semesta raya

Jika kita berumah di masjid ruh
Tak kuasa para musuh melihat kita
Jika kita terjun memasuki genggaman-Nya
Mereka menembak hanya bayangan kita

Enam
Masjid itu dua macamnya
Masjid badan berdiri kaku
Tak bisa digenggam
Tak mungkin kita bawa masuk kuburan

Adapun justru masjid ruh yang mengangkat kita
Melampaui ujung waktu nun di sana
Terbang melintasi seribu alam seribu semesta
Hinggap di keharibaan cinta-Nya

Tujuh
Masjid itu dua macamnya
Orang yang hanya punya masjid pertama
Segera mati sebelum membusuk dagingnya
Karena kiblatnya hanya batu berhala
Tetapi mereka yang sombong dengan masjid kedua
Berkeliaran sebagai ruh gentayangan
Tidak memiliki tanah pijakan
Sehingga kakinya gagal berjalan

Maka hanya bagi orang yang waspada
Dua masjid menjadi satu jumlahnya
Syariat dan hakikat
Menyatu dalam tarikat ke makrifat

Delapan
Bahkan seribu masjid, sjuta masjid
Niscaya hanya satu belaka jumlahnya
Sebab tujuh samudera gerakan sejarah
Bergetar dalam satu ukhuwah islamiyah

Sesekali kita pertengkarkan soal bid'ah
Atau jumlah rakaat sebuah shalat sunnah
Itu sekedar pertengkaran suami istri
Untuk memperoleh kemesraan kembali

Para pemimpin saling bercuriga
Kelompok satu mengafirkan lainnya
Itu namanya belajar mendewasakan khilafah
Sambil menggali penemuan model imamah

Sembilan
Seribu masjid dibangun
Seribu lainnya didirikan
Pesan Allah dijunjung di ubun-ubun
Tagihan masa depan kita cicilkan

Seribu orang mendirikan satu masjid badan
Ketika peradaban menyerah kepada kebuntuan
Hadir engkau semua menyodorkan kawruh

Seribu masjid tumbuh dalam sejarah
Bergetar menyatu sejumlah Allah
Digenggamnya dunia tidak dengan kekuasaan
Melainkan dengan hikmah kepemimpinan

Allah itu mustahil kalah
Sebab kehidupan senantiasa lapar nubuwwah
Kepada berjuta Abu Jahl yang menghadang langkah
Muadzin kita selalu mengumandangkan Hayya 'Alal Falah!
1987
Pengirim Subhan Toba
Jumat 7 Januari 2000
TAHAJJUD CINTAKU
Oleh :
Emha Ainun Najib
Mahaanggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
Mahaagung ia yang mustahil menganugerahkan keburukan
Apakah yang menyelubungi kehidupan ini selain cahaya
Kegelapan hanyalah ketika taburan cahaya takditerima
Kecuali kesucian tidaklah Tuhan berikan kepada kita
Kotoran adalah kesucian yang hakikatnya tak dipelihara
Katakan kepadaku adakah neraka itu kufur dan durhaka
Sedang bagi keadilan hukum ia menyediakan dirinya
Ke mana pun memandang yang tampak ialah kebenaran
Kebatilan hanyalah kebenaran yang tak diberi ruang
Mahaanggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
Suapi ia makanan agar tak lapar dan berwajah keburukan
Tuhan kekasihku tak mengajari apa pun kecuali cinta
Kebencian tak ada kecuali cinta kau lukai hatinya
1988
Pengirim Subhan Toba
Jumat 7 Januari 2000
Bookmark and Share

0 comments:

Post a Comment